A. Budaya Grebeg Besar
Bentuk keramaian yang dikenal dengan nama GREBEG BESAR adalah murni
hasil ciptaan para wali. Pelaksanaannya dimulai setelah walisongo
angkatan I mengadakan siding di serambi Masjid Agung Ampel Dento
Surabaya, keputusannya sebagai berikut :
“NGENANI ANANE SOMAWONO KIPRAH MEKARE TSAQOFAH HINDU ING NUSA
SALALADANE, JUWAJIBAN PORO WALI AREP ALAKU TUT WURI ANGISENI. DARAPUN
SUPOYO SANAK-SANAK HINDU MALAH LEGO-LEGOWO MANJING ISLAM.
Artinya : Dengan adanya perkembangan ajaran Hindu di pulau wilayah
ini, tugas para wali dakwah menyesuaikan adat istiadat setempat sambil
mengisi nafas Islam, agar supaya masyarakat Hindu hatinya rela dan tulus
ikhlas masuk Islam.
Keputusan siding ditulis Sunan Bonang dengan Huruf Arab Gondil,
bentuknya notulen singkat. Pada tahun 1938 M, masih tersimpan di dalam
mushola Astana Tuban dirawat oleh juru kunci yang bernama Raden Panji
Soleh.
Sejak itu, Sunan Kaljaga mulai bertindak sebagai pelopor pembaharuan
(Reformis) dalam menyiarkan agama Islam. Untuk mengimbangi kepentingan
masyarakat, beliau ciptakan jenis kesenian baru yang disebut Wayang
Purwo (wayang kulit). Semua jenis kesenian rakyat yang hampir mati
karena Majapahit runtuh, dibangkitkan supaya hidup kembali. Tujuannya
untuk mencari simpati masyarakat dan jangan sampai terjadi shock culture
pada orang-orang yang sudah kuat religinya dengan agama tertentu. Hal
itu dibenarkan juga oleh Dr. W.F Stutterheim dalam tulisannya “Culture
Geschidenis Van Indonesia”.
Pada zman kejayaan Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Kertabhumi
Brawijaya V, pernah mengadakan upacara Sradha dibuat spektakuler. Sebab
upacara tersebut dibunyikan gamelan Prabu Kertabhumi Brawijaya V yang
bernama Kanjeng Kyai Sekar Delima.Dulu dibuat oleh Raden Panji Inu Kerta
Pati (Panji Semirang) dari kerajaan Jenggala secara turun temurun
menjadi milikr raja-raja Majapahit.
Setelah Majapahit runtuh, semua benda pusaka milik Prabu Kertabhumi
Brawijaya V diboyong ke Demak. Termasuk gamelan Kanjeng Kyai Sekar
Delima yang terdiri dari : “ Bonang Sapangkon, Demung dua pangkon,
Kempyang Sepangkon, Saron Barung dua pangkon, Saron Penerus dua pangkon,
bedhug satu buah, dan Gong Besar Sakti”.
Apabila gamelan itu ditabuk/dibunyikan, Bonang menggambarkan sorang
imam yang berdo’a, sedangkan Demung, Kempyang, Saron, dan lain-lainnya
menggambarkan makmum yang sedang meng-amin-I (membaca Amin).
Supaya da’wahnya para wali di dalam menyiarkan Islam dapat menarik
perhatian umum, gamelan Kanjeng Kyai Sekar Delima dimanfaatkan. Tetapi
sudah dilengkapi dengan seperangkat gamelan baru yang dibuat oleh Sunan
Kalijaga. Lalu gamelan dibagi menjadi dua perangkat, yang seperangkat
dinamakan Kajeng Kyai Sekati dan seperangkatnya lagi dinamakan Kanjeng
Nyai Sekati. Menurut wasiat Sunan Kalijaga, bahwa sampai kapanpun
keberadaan gamelan tersebut harus sejodho (sepasang). Oleh karena itu,
Keraton Kasunanan Surakarta yang hanya menerima pembagian gamelan
Kanjeng Kyai Sekati, lalu membuatkan pasangan baru (duplikat gamelan
Kanjeng Kyai Sekati) dan diberi nama “Guntur Madu” yang biasanya
terletak di serambi masjid bagian selatan dan “Guntur Sari” yang ada di
bagian utara.
Begitu pula, untuk Keraton Kasultanan Yogyakarta, oleh karena hanya
menerima gamelan Kanjeng Nyai Sekati, lalu membuatkan pasangannya
(duplikat Kanjeng Kyai Sekati), namanya Guntur Madu dan Nogo Wilogo.
Untuk Kasultanan Cirebon yang tidak mendapatkan gamelan Kyai Sekati
kemudian dibuatkan oleh Sunan Kalijaga yang kebetulan masih ada ikatan
keluarga dengan Sunan Gunung Jati di Cirebon.
B. Grebeg Besar dan Sejarahnya
Kata bahasa Jawa Garebeg, Grebeg, Gerbeg, bermakna : suara angin yang
menderu. Kata bahasa Jawa (h) anggarebeg, mengandung makna mengiring
raja, pembesar atau pengantin. Grebeg bisa juga diartikan digiring,
dikumpulkan, dan dikepung. Jadi grebeg bisa berarti dikumpulkan dalam
suatutempat untuk kepentingan khusus. Adapun Grebeg Besar seremonial
yang terkenal di Demak, kata “Besar” adalah mengambil nama bulan yaitu
bulan Besar (Dzulhijah).
Maka makna Grebeg Besar adalah kumpulnya masyarakat Islam pada bulan
Besar, sekali dalam setahun yaitu untuk suatu kepentingan da’wah
Islamiyah di Masjid agung Demak.
Cerita tutur mewartakan bahwa dahulu kala para raja Jawa selalu
menyelenggarakan selamatan kerajaan (bahasa Jawa = wilujengan nagari)
setiap tahun baru dan disebut Rojowedo, artinya kitab suci raja atau
kebajikan raja. Disebut pula, ada yang mengatakan Rojomedo, artinya
hewan korban kerajaan.
Tujuan selamatan kerajaan yang hakikatnya adalah suatu cara korban
agar Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan perlindungan, keselamatan kepada
raja dan kerajaan serta rakyatnya.
Dalam peristiwa itu, rakyat datang menghadap raja untuk menyampaikan
sembah baktinya. Raja keluar dari keratin lalu duduk di singgasana
keemasan (bahasa jawa=dhampar kencono) di bangsal Ponconiti. Penampilan
raja untuk menerima sembah bakti rakyat yang datang mengahadap (bahasa
jawa=sowan), diiringi (bahasa jawa=ginarebeg) oleh para putra dan
segenap punggawa Keraton.
Dalam Babad Jawa Jaka Tingkir dijelaskan: Sudah menjadi kelaziman
pada setiap peringatan Maulid Nabi selalu diadakan pembacaan riwayat
Nabi, pembacaan syair lagu-lagu yang merdu silih berganti. Seusai
peringatan, dilanjutkan musyawarah antara Sultan Demak dan para Wali
Agung, kemudian dilanjutkan tahlilan dan akhirnya santap bersama.
Keesokan harinya diadakan upacara grebegan, Sultan Demak mengadakan paseban di setinggil Demak.
Dalam grebegan tadi, Sultan di singgasana Manikwungu menghadap ke
utara, kiri kanan Sultan duduk para wali pawingking, para pandhita
berada di Masjid sedangkan para Ulama, abid (orang yang ahli ibadah),
sulaka (salik yaitu orang yang meng-fokuskan hidupnya hanya untuk
mendekatkan diri pada Allah SWT), puhaka (ahli fiqih/syariat Islam)
berada di serambi masjid dan halaman. (Babad Jaka Tingkir, 1981:78)
Tak lama setelah Raden Fatah dinobatkan menjadi Sultan pertama
kasultanan Demak dengan gelar Kanjeng Sultan Raden Abdul Fattah Al Akbar
Sayyidin Panatagama, baginda langsung menghapuskan adat
menyelenggarakan upacara kurban yang selalu dilakukan oleh para raja
Jawa-Hindu terdahulu. Sebab adat yang seperti itu, dinilai bertentangan
dengan aqidah Islam.
Penghapusan adat itu menimbulkan keresahan sebagian kalangan rakyat,
sebab rakyat yang selama berabad-abad turun-temurun sudah terbiasa hidup
dengan adat dari kepercayaan lama, belum dapat menerima sikap rajanya
yang baru itu. Keresahan tersebut menimbulkan gangguan keamanan Negara,
sebab khawatir timbul wabah penyakit menular.
Atas saran para wali, adat kepercayaan lama itu agar dihidupkan
kembali, namun diberi warna keislaman yaitu hewan kurban disembelih
menurut aturan agama Islam.
Awal dan akhir doa selamatan berupa do’a Islam yang dipanjatkan oleh Sunan Giri dan Sunan Bonang.
Para wali giat berda’wah, penyebaran agama Islam awalnya tidak banyak
mengalami kemajuan. Hal ini bisa dilihat dengan masih sedikitnya jumlah
santri. Sebagian besar rakyat terutama masyarakat pedesaan enggan untuk
mengucapkan syahadat sebgai pernytaan memeluk agama Islam.
Akhirnya para wali bermusyawarah, dan mereka sependapat untuk
menginsyafkan rakyat akan kebenaran ajaran agama Islam, haruslah
dilakukan secara bertahap, dengan penuh kearifan, bersikap sopan santun,
ramah tamah dalam berda’wah dan tanpa mencela adat serta unsur-unsur
kebudayaan rakyat bahkan seharusnya memanfaatkan unsur-unsur kebudayaan
rakyat sebagai sarana da’wah, terutama dengan, dengan memanfaatkan
bahasa, adat-istiadat dan kesenian rakyat. Para wali menemukan taktik
da’wah “TUT WURI ANGISENI” Artinya memakai dan menghormati kebudayaan
yang ada, untuk memudahkan syiar agama Islam. Istilah lainnya, JOWO
DIGOWO, ARAB DIGARAP.
Sunan Kalijaga mengetahui bahwa pada waktu itu rakyat menyukai
perayaan dan keramaian yang dihubungkan dengan upacara keagamaan.
Apalagi jika perayaan dan keramaian ada juga irama gamelannya, tentu
saja akan sangat menarik perhatian rakyat untuk datang melihatnya.
Akhirnya timbullah gagasan Sunan Kalijaga supaya kerajaan
menyelenggarakan perayaaan dan keramaian setiap menyongsong hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW pada bulan Rabiul Awal.
Untuk menarik perhatian rakyat agar mau datang ke Masjid Besar, maka
dibunyikanlah gamelan yang ditempatkan di halaman masjid. Setelah
berkumpul maka para wali dapat berda’wah langsung dihadapan rakyat.
Meski membunyikan gamelan di lingkungan masjid itu ada yang
menghukumi makruh, namun dengan menggunakan azas manfaat dan hikmah demi
kelancaran syiar Islam, maka Sunan Kalijaga dari ijtidahnya, berani
menghukumi mubah/boleh dikerjakan. Pendapat Sunan Kalijaga itu dapat
diterima majelis Walisongo. Sultan Fatah pun akhirnya menyetujui
pelaksanaan gagasan Sunan Kalijaga.
Maka dalam bulan Rabiul Awal, 12 (dua belas) hari sebelum kelahiran
Nabi, diselenggarakan perayaan dan keramaian yang disebut Sekaten. Di
halaman Masjid Besar didirikan tempat khusus untuk menaruh dan
membunyikan gamelan yang disebut pagongan. Pagongan adalah tempat gong
(gamelan) yang dibuat oleh Sunan Giri. Konon sebagian dari
gendhing-gendhing (lagu) gamelan diciptakan oleh Sunan Giri dan sebagian
lagi oleh Sunan Kalijaga.
Selama 12 hari (dua belas) hari gamelan diperdengarkan terus menerus,
kecuali pada waktu-waktu sholat dan pada malam jum’at sampai lewat
sholat Jum’at.
C. Tradisi Grebeg Besar
Grebeg Besar dan Sejarah Kota Wali tak bisa disangkal lagi jika
membuat orang Demak akan membanggakan dirinya sebagai warga Kota Wali.
Catatan sejarah Kabupaten Demak memang tidak lepas dari perjuangan para
wali (walisongo) dalam kegiatan menyebarkan agama Islam pada abad XV,
yaitu keberadaan Demak sebagai pusat kerajaan Islam (Kasultanan Bintoro)
di Pulau Jawa dengan ”masterpieces”nya adalah Sunan Kalijaga dan Sultan
Fatah yang diakui merupakan tokoh-tokoh besar dan berpengaruh dalam
lintas sejarah Kabupaten Demak.
Tidaklah mengherankan jika kemudian beragam acara ritual yang dimulai
atau diperkenalkan oleh kedua tokoh tersebut masih berlangsung sampai
saat ini dan menjadi semacam upacara ritual yang selalu dinantikan
orang, tidak hanya oleh para warga kota wali sendiri tetapi juga dari
luar daerah.
Pada masa Sunan Kalijaga menjadi penasihat spiritual Sultan Bintoro,
khususnya pada masa emas kejayaan pemerintahan Sultan Fatah. Beliau
antara lain menyelenggarakan Grebeg Besar sebagai media da’wah. Tradisi
ini diselenggarakan tiap tanggal 10 Dzulhijjah bersama dengan datangnya
peringatan Hari Raya Idul Adha (Qurban).
Hanya saja sebetulnya Grebeg Besar ini pada masa pertama kalinya
mulai dilaksanakan di Demak, tidak hanya sekali setahun pada saat Idul
Adha. Tetapi memang menurut catatan sejarahnya, semula tradisi Grebeg
Besar ada empat, yaitu Grebeg Maulid, Grebeg Dal, Grebeg Syawal, dan
Grebeg Besar.
Adapun sampai kini masih berlangsung di Demak adalah Grebeg Besar.
Sementara di luar Grebeg besar yang kini masih dilestarikan adalah di
kerajaan Solo, Yogyakarta dan Cirebon.
Adapun Grebeg Besar sampai sekarang masih menjadi bagian dari tradisi
bernilai jual (selling point)n yang rutin diselenggarakan, tampaknya
dipengaruhi oleh beberapa factor utama yaitu sosio-ekonomi-religi.
D. Tata Cara Perayaan Grebeg Besar
Acara Grebeg Besar Demak mempunyai urutan tata cara perayaan sebagai berikut :
1. Diawali dengan saling bersilaturahmi antara pihak Kasepuhan
Kadilangu dengan Bupati dan Wakil Bupati Demak, beserta jajaran Muspida
Demak. Bupati Demak bersama rombongan bersilaturahmi ke Kasepuhan
Kadilangu yang ditempatkan di Pendopo Noto Bratan Kadilangu Demak.
Selanjutnya, sesepuh Kadilangu dan keluarga Kasepuhan bersilaturhmi ke
Kabupaten Demak dan biasanya mereka diterima Bupati di ruang tamu
Kadipaten Demak.
2. Setelah silaturahmi, Bupati, Wakil Bupati, DPRD, Muspida Demak dan
jajaran pemerintah Kabupaten Demak ziarah ke makam-makam leluhur Sultan
Bintoro di kompleks Masjid Agung Demak, dan dilanjutkan ziarah ke makam
Sunan Kalijaga.
3. Kemudian Bupati, Wakil Bupati, DPRD, Muspida Demak meresmikan
pembukaan keramaian Grebeg Besar di lapangan Tembiring Jogo Indah.
4. Pada malam menjelang Idul Adha diadakan upacara Tumpeng
Walisongo/Sembilan yang menggambarkan jumlah 9 wali (walisongo),
diserahkan Bupati Demak kepada Takmir Masjid Agung Demak untuk dibagikan
kepada para pengunjung.
5. Tepat pada tangaal 10 Dzulhijjah diadakan acara penjamasan Kotang
Ontokusumo yang dimulai setelah selesai Sholat Idul Adha. Penjamasan
dimulai dari Pendopo Kabupaten Demak dengan penyerahan minyak jamas oleh
Bupati kepada Manggala Prajurit yang akan membawanya ke Kadilangu
dengan dikawal prajurit patang puluhan yang berjalan kaki dengan
berjarak 2 Km. Bupati sekeluarga beserta para pejabat Pemerintah
kabupaten Demak turut mengantar minyak jamas dengan menaiki kereta
Kencana. Sesampainya di Kadilangu, minyak jamas diterima oleh Sesepuh
Kadilangu selanjutnya digunakan untuk menjamas Kotang Ontokusumo dan
Keris Kyai Crubuk.
Sumber: Matahari Terbit di Glagahwangi, 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar